Ada sifat alami manusia yang bener-bener harus ditakar dalam kadar yang pas, atau kita sendiri akan kerepotan karenanya. Sifat ini namanya OPTIMISM BIAS. Sifat yang menjangkiti hampir mayoritas dari kita, dan parahnya menurut cognitive riset yang dipimpin Tali Sharot, 80% dari kita ternyata memilikinya.
Tali Sharot adalah associate professor of cognitive neuroscience di departemen Experimental Psychology – University College London.
Cognitive Bias ini singkatnya adalah seperti ini, kecenderungan untuk meng-OVER ESTIMATE hal-hal baik akan terjadi pada kita, dan meng-UNDER ESTIMATE hal-hal buruk akan terjadi pada kita, namun semua hanya didasarkan pada subyektifitas kita, bukan pada fakta dan realita.
Intinya yakin aja, tapi tanpa didasari hitungan diatas kertas kemampuan sebenarnya kita seperti apa. Optimis itu baik, namun optimism bias itu tidak baik karena akan membuat seseorang menjadi ceroboh dan tanpa perhitungan . Optimisme yang hanya sekedar ilusi, karena optimisme tanpa diiringi pemantasan diri.
Simpelnya seperti ini, ketika mau memulai sebuah bisnis kita sangat percaya diri kalau kita akan sukses. Akibatnya kita jadi mengabaikan analisa bisnis berlapis yang benar-benar mengukur kelayakan bisnis kita.
Ibaratnya seperti ini, ketika seseorang pemotor yang mau melakukan perjalanan luar kota sangat yakin, ia tidak akan mengalami hal-hal buruk dalam perjalanan yang akan ia tempuh antar kota. Akibat terlalu yakin maka ia memutuskan untuk tidak memakai helm, tidak memakai jaket tebal, tidak bawa jas hujan dll. Karena ia yakin ia tidak akan kenapa-napa.
Didalam bisnis hal ini amat sangat berbahaya. Sikap optimis berlebihan membentuk karakter yang seenaknya dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Malas melakukan analisa, malas meminta pertimbangan dan masukan dari rekan kerja atau ahlinya. Ahh yang penting jalan aja.. biasanya juga gak apa-apa kok. Kita juga udah tahunan jalan kayak gini.
Kita sangat yakin bahwa perusahaan kita yang sedang menguasai pasar akan terus berjaya hingga puluhan tahun kedepan. Ahh.. kerja model gini aja juga pasti masih tetap leading kita. BRAND kita sudah terlalu kuat dipasaran, jadi kita gak mungkinlah disalip sama kompetitor.
Dalam rumah tangga, kita juga sangat yakin bahwa pasangan kita dan orang-orang terdekat kita akan terus mencintai kita dan menyayangi kita. Akibatnya kita jadi sembrono memperlakukan mereka. Aah Saya yakin mereka juga bakal paham kok kalo Sy lembur dan jarang dirumah; kan Sy kerja hasilnya untuk mereka juga. Tidak ada waktu tersisa lagi buat keluarga.
Optimism bias juga membuat kita merasa selalu lebih unggul dari teman-teman kerja kita. Ahh.. paling juga lebih baikan Saya kerjaannya. Saya yakin bos akan lebih memilih Saya ketimbang mereka. Akibatnya kita lupa terus mengasah skill dan kemampuan kita. Karena kita selalu yakin kualitas pekerjaan kita selalu lebih baik, tanpa diiringi benchmarking secara berkala. Apakah skill kita sudah relevan dengan kebutuhan perusahaan dan bisnis kita.
Hal inilah juga yang menjaga saya utk tetap Objective, saat setahun lalu mengambil keputusan utk mengundurkan diri sbg karyawan di sebuah perusahaan elektronik terbesar didunia utk menjadi independent Trainer.
Saya tentu memiliki optimisme yang besar atas pilihan karir tersebut, tapi saya juga berusaha utk memperhitungkan dan mempersiapkan kemungkinan2 yang bisa terjadi.
Optimism Bias wajib untuk terus kita awasi dan dikendalikan. Karena sifat ini destruktif dan melenakan kita. Masih jauh lebih baik kita beranggapan orang lain lebih unggul dari kita. Dengan demikian kita tidak akan lengah dan terus menerus mengupgrade diri.
Optimis itu penting, tapi Optimism Bias harus kita buang jauh-jauh. Karena ia melemahkan, bukan menguatkan.
Tetaplah semangat mengupgrade diri.
Selamat berhari Jum’at sahabat2ku semua.
Adriano Giovani
(Excellent Improvement Trainer)
#DariAdri